Kamis, 29 Maret 2012

POTENSI ULAMA DALAM KONFLIK URUT SEWU KEBUMEN

POTENSI  ULAMA DALAM KONFLIK URUT SEWU KEBUMEN
Nurhidayah*


Membuka catatan sejarah kota Kebumen mulai masa kerajaan Mataram Islam hingga era reformasi sekarang ini, kota Kebumen menyimpan banyak catatan peristiwa penting. Mulai sejarah berdirinya kota Kebumen hingga konflik-konflik local yang dipicu entah oleh alasan ekonomi, social, politik maupun agama. Bahkan peristiwa konflik terbaru yang masih menjadi pekerjaan  rumah  (PR) pemerintah daerah setempat karena belum selesai hingga hari ini adalah peristiwa konflik Urut Sewu. Sebuah  konflik yang terjadi antara pihak pemerintah yang di dalam hal ini adalah pihak TNI dengan masyarakat, mengenai pusat pelatihan militer yang ada di wilayah Urut Sewu. Padahal menurut salah seorang tokoh masyarakat di daerah Urut Sewu, sebenarnya peristiwa konflik Urut Sewu sebenarnya tidak perlu terjadi, apalagi sampai menimbulkan korban dan ketakutan di masyarakat. Karena selama ini masyarakat Urut Sewu mempunyai hubungan harmonis dengan pihak TNI. 
SALAH TAFSIR KONFLIK ANTARA MASYARAKAT URUT SEWU DAN TNI
Bila ditelaah lebih dalam, peristiwa Urut Sewu merupakan konflik yang multidimensi. Hal ini disebabkan oleh adanya  berbagai aspek pendorong munculnya konflik, yaitu seperti adanya persengketaan dua di wilayah Urut Sewu, yaitu desa Setro Jenar Buluspesantren dengan warga Bonorowo, penolakan rencana penambangan pasir besi, hingga status kepemilikan tanah sengketa.
Sejarah wilayah Urut sewu sejak zaman revolusi kemerdekaan hingga masa orde baru selama ini menunjukan bahwa masyarakat Urut Sewu mempunyai hubungan selalu harmonis dengan TNI. Kondisi tersebut bukan tanpa alasan. Masyarakat  dekat dengan TNI  dan mengizinkan  sebagian wilayahnya menjadi sarana  latihan dikarenakan  dari  sebelum kemerekaan memang wilayah Urut Sewu merupakan salah satu basis Tentara Nasional Indonesia untuk melawan kolonial Belanda. Keharmonisan  hubungan ini didasarkan  pada adanya  kesadaran  masyarakat tentang  kedudukan TNI sebagai basis  terdepan  penjaga keutuhan  dan  kedaulatan NKRI  yang tentu saja  membutuhkan  wilayah sebagai sarana  latihan dan pengembangan  skill keprajuritan.
Sangat disesalkan konflik  antara masyarakat dan TNI  yang  terus  berlarut-larut,  seakan api  dalam sekam. Hal  tersebut  terjadi  karena  ada pihak ketiga yang menghendaki dan mengijinkan  adanya  keinstabilan  di daerah  Urut Sewu, Kebumen. Entah bagaimana kronologis peristiwa yang terjadi  sebenarnya, namun puncaknya  adalah peristiwa  penembakan  dan sweeping  pemuda oleh oknum TNI.  Kondisi yang mendorong  para tokoh  masyarakat di daerah Urut Sewu, khususnya golongan  ulama di kabupaten  Kebumen untuk mencoba  turun  tangan melalui  lembaga  kemasyarakatan  yang ada di wilayah  tersebut  sebagaimana  diakui  salah  satu tokoh masyarakat, Drs.H. Makhrur Adam Maulana,M.Ag.

ULAMA  HARUS TURUN TANGAN
            Masyarakat Kebumen adalah  masyarakat agraris yang terletak di wilayah Kasultanan Yogyakarta dan Karesidenan Banyumas. Walaupun secara  bahasa, mereka  ngapak karena dekat dengan kultur  Banyumasan akan tetapi  masyarakat Kebumen adalah masyarakat yang lebih dikenal  dengan  anteng ing pamrih, rame  ing gawe  (banyak kerja sedikit bicara). Hingga layak, ketika  banyak perusahaan  yang langsung  melakukan rekruitmen tenaga terampil  langsung ke daerah ini.
Namun jangan salah, walaupun cenderung diam dan sedikit bicara  tetapi  masyarakat  Kebumen  yang  mayoritas Muslim meski Hindhu, Budha, Kristen juga ada  bukan berarti akan diam  manakala  ada ketidakadilan. Masyarakat akan  berani bertanya  langsung atau menuntut  langsung. Akan tetapi  seringkali  pihak-pihak yang dituntut kurang memahami dan kurang  sabar dalam menanggapi atau menyelesaikan  tuntutan tersebut, hingga pada akhirnya  sering timbul  konflik. Seperti terjadinya peristiwa tahun 1998 tentang pembakaran toko-toko etnis China di Kebumen dan terangkum dalam sebuah buku berjudul  kerusuhan Mei 1998.
 Mungkin benar sebagian penelitian dosen dari UNDIP, bahwa  masyarakat Kebumen bersumbu  pendek. Namun sebagaimana sumbu pendek, ia juga  mudah  untuk dipadamkan  asalkan  dengan penanganan atau pendekatan yang sesuai (tidak antem kromo). Sebagaimana konsep rekayasa sosial dari Jalaludin Rahmat, bahwa pembaruan kondisi sosial masyarakat harus disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya.   
Melibatkan  ulama  dalam penyelesaian  konflik bisa menjadi  salah satu alternative signifikan. Mengingat  masyarakat Kebumen yang cenderung agamis. Sebagaimana  kultur  yang ada dalam  masyarakat agamis peranan ulama sangat berperan. Karena hampir setiap aktivitas  baik pribadi atau kelompok  selalu dikonsultasikan  pada ulama. Kedudukan Ulama  di mata masyarakat  Kebumen masih  sangat dijunjung tinggi. Apalagi  selama ini  kaum ulama di Kebumen mampu  menyelaraskan antara  hukum adat yang berlaku  di masyarakat dengan hukum  positif dan agama tanpa  mengurangi/merusak esensi hukum agama  itu sendiri. Apalagi dalam masyarakat  Kebumen yang mayoritas  Nahdlotul ulama (NU), para ulamanya  seringkali menekankan kepada masyarakat untuk  mampu  menjaga kehidupan keagamaan tanpa konflik demi terjaganya stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara.  Dengan demikian  agama  atau kepercayaan  bisa menjadi  media  komunikasi  masyarakat dengan  Negara, dalam hal ini melalui peran ulama/tokoh agama.

MERUBAH PARADIGMA TNI DAN ULAMA, ALTERNATIF PENDEKATAN PENYELESAIAN KONFLIK URUT SEWU
Sebagaimana pendapat Karl Marx, Freud bahwa adakalanya konflik tidak perlu dilihat dari kacamata negative. Maka konflik di wilayah Urut Sewu perlu kiranya mencoba dilakukan rekonstruksi paradigma positive di antara TNI dan Ulama. Konflik Urut Sewu merupakan sebuah sarana evaluative  perjalanan  bagi  peran keduanya. Mengapa? bukan untuk mencari siapa yang benar dan siapa  salah, tidak ada salahnya TNI mencoba melakukan evaluasi  internal terkait pola hubungan dengan warga, karena  mungkin saja ada sumbatan-sumbatan  pendekatan dan pola hubungan yang belum sepehaman  dalam  proses interaksi antar TNI dan warga. Disisi lain  peran ulama sebagai  corong  warga diharapkan  mampu  mewakili  masyarakat untuk memperbaiki  kembali sumbatan-sumbatan  yang muncul  antar TNI dan masyarakat. Dibutuhkan kesadaran dan semangat rekonsiliasi atas konflik melalui arbitrer-arbitrer yang independen demi keutuhan NKRI.      

Tidak ada komentar: