Kesalahan Logika Menjadi Pencetus Lahirnya Kesenjangan Sosial di Masyarakat
by.nurhidayah
by.nurhidayah
Manusia pada dasarnya lahir dalam kondisi merdeka. Ia dilahirkan dari rahim ibunya dengan segenap seluruh hak kemanusiaan dan kesempurnaannya. Hal itu sebagaimana tersurat dalam Q.S At-tiin, ayat 4. “Sesungguhnya Aku (Allah) telah menciptakan manusia dengan bentuk yang sempurna-sempurnanya”. Pengakuan tentang hak, telah rinci diterangkan Al Qur’an[i], sebelum ada ungkapan Eropa tentang Declaration of Human Right. Bahwa setiap manusia mempunyai hak yang sama, dan hal itu dijamin oleh Tuhan. Ini berarti secara teologi social kedudukan manusia satu dengan yang lain sama. Dari sudut teologi sosial, setiap individu memiliki kebebasan atau free will sesuai martabat kemanusiannya. Ia memiliki “human destiny” yang wajib dihormati dan dijunjung tinggi.
Akan tetapi dewasa ini kesenjangan social di negeri loh jinawi ini ternyata terus meningkat. Walaupun kesenjangan social memang bukan hanya menjadi permasalahan atau PR (pekerjaan rumah) ilmuwan social di Indonesia saja, melainkan juga menjadi permasalahan hampir di semua negara di dunia. Baik itu yang menganut ideologi komunis, sosialis, bahkan demokratis. Mulai dari negara teokrasi ataupun negara demokrasi. Satu hal yang sangat disayangkan kesenjangan social di masyarakat tersebut ternyata tanpa disadari terbentuk secara otokratif. Otokratif yang ada bukan berlandaskan atas pengakuan keindividuan manusia itu sendiri ataupun atas kesadaran otoritas kemanusiaannya tetapi menggunakan otoritas keTuhanan. Entah itu sebagai sebuah kepasrahan total perwujudan kesadaran akan kekuasaan Tuhan atau muncul karena adanya kesalahan logika berpikir manusia. Disini kita tidak akan membahas disini tentang salah siapa atau motivasi mana yang seringkali menjadi pemicu lahirnya kesenjangan social di masyarakat, melainkan marilah kita diskusikan bersama tentang adanya kontribusi logika sebagai pencetus munculnya kesenjangan social yang ada dalam masyarakat.
Realitas di masyarakat menunjukan bahwa ada kontribusi yang cukup signifikan logika dalam merekonstruksi lahirnya kesenjangan social di masyarakat. Para pakar logika mengatakan hal ini sebagai fallacy of dramatic instance. Seorang pakar dalam Badruzaman (2009) menyebutkan bahwa contoh kesalahan logika berpikir tersebut dapat terlihat dengan adanya determinisme restrospektif bahwa kemiskinan sudah ada sepanjang sejarah. Kita miskin akibat proses sejarah yang panjang. Sistem colonial telah menguras sendi-sendi perekonomian kita. Para petani sepanjang sejarah memang selalu ditindas. Tidak mungkin kita mengatasi kemiskinan yang sudah dibentuk sejarah selama berabad-abad. Selain itu adanya kesalahan dalam logika berpikir yang bersumber pada otoritas ketuhanan adalah argumentum ad verequndiam. Sebuah pola pikir yang menurut para pakar logika menekankan pada adanya realitas orang yang menyebut iman kepada takdir sebagai penerimaan dan kepasrahan pada problem kemiskinan.
Manusia seringkali mengalami keterbatasan dalam memahami alam dan manusia untuk akhirnya mampu memberikan solusi atas fenomena kemanusiaan itu sendiri. Mereka pada akhirya terjebak pada pola pikir yang salah bahwa kepasrahan kepada nasib atau takdir, dengan alasan penerimaan, pemahaman kerendahatian dan ketundukan pada Sang Khaliq pada akhirnya diimplemantasikan dengan menerima begitu saja takdir yang ada, nasib yang diterima tanapa usaha tanpa ada perlawanan (perjuangan). Sehingga ketika kemajuan aktivitas ekonomi, social politik budaya terus berkembang, mereka pada akhirnya terjebak dengan dilema. Mereka tidak mau ditetapkan pada struktur social yang tidak diinginkannya. Namun ia juga tidak layak (baca: tidak bisa diterima) dalam struktur social di atasnya. Kesenjangan/kepincangan social terus bermunculan karena di satu pihak (orang yang cukup/mempunyai modal) tidak mau atau enggan terus membagi kekayaannya kepada pihak yang belum beruntung (penganut determinisme restrospektif). Namun di sisi lain para pihak yang merasa kurang beruntung terus terjebak dalam logika berpikir yang keliru. Mereka menerima nasib mereka dengan argument, ini adalah ketetapan Tuhan. Sabar , menerima (qonaah) adalah sebuah keniscayaan. Akhirnya mereka rela bahkan dengan kesadaran tinggi bekerja dan mendapat sesuap nasi atau harta dengan meminta-minta. Mereka mengatakan pekerjaan itu tidak merugikan orang lain. Mungkin satu dua kali tidak menjadi masalah, akan tetapi ketika pekerjaan ini terus dilakukan sepanjang masa pada akhirnya menimbulkan permasalahan social yang mencolok. Ketika pemberi (penyantun) sudah bosan) atau jenuh terus memberi bantuan (derma), para peminta-minta yang awalnya meminta dengan sopan mulai anarkis. Akhirnya hal ini malah menimbulkan persoalan baru. Kriminalitas meningkat.
Berdasarkan realitas di atas tuntutan akan teori-teori ilmu social yang solutif diharapkan mampu memberikan wacana baru terhadap kesalahan logika berpikir yang berkembang. Sehingga diharapkan mampu meredam timbulnya kesenjangan social di masyarakat. Dibutuhkan peran ulama, ilmuwan dan kerjasama berbagai pihak untuk terus melakukan introspeksi terhadap fenomena kesalahan logika berpikir masyarakat sehingga mampu menjadi basic problem solving.
[i] Abad Badruzzaman, Dari Teologi Menuju Aksi: Membela yang Lemah Menggempur Kesenjangan, Yogyakarta, April 2009